LATAR
BELAKANG
Perbedaan pendapat seringkali kita temukan didalam
kehidupan sehari hari, baik itu yang terjadi antara seseorang dengan orang
lain, maupun yang terjadi didalam sebuah organisasi yakni antara individu –
individu yang terdapat didalamnya.. Perbedaan pendapat seringkali memicu
terjadinya konflik. Kata konflik, sebenarnya berasal dari kata kerja latin configure yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses social antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Dalam kaitannya dengan judul karya ilmiah yang saya
angkat yaitu “Konflik Dualisme Dalam Oraganisasi GMIH”, saya akan mencoba
membahas mengenai masalah yang terjadi dalam tubuh organisasi tersebut. GMIH
merupakan organisasi keagamaan yang beranggotakan Gereja-Gereja yang berada di
wilayah Halmahera, dan berpusat di Tobelo.
Sekitar dua tahun yang lalu GMIH mengalami
perpecahan didalam kubu interennya. Perpecahan tersebut dikarenakan adanya
dualisme didalam kubu GMIH, dan hal ini sangat berpengaruh bagi Gereja – Gereja
yang ada di Halmahera. Akibatnya, banyak gereja gereja khususnya di Halmahera
Barat juga ikut mengalami pepecahan ditingkat jemaatnya. Hal ini tentu saja
sangat disayangkan, GMIH yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk Gereja
- Gereja yang ada dibawah naungannya, malah dijadikan sebagai ajang bagi oknum
– oknum tertentu untuk memperebutkan kekuasaan.
LANDASAN TEORI
Ø Menurut
Gareth R Jones mendefinisikan konflik organisasi sebagai perbenturan yang
muncul kala perilaku mencapai tujuan tertentu yang ditunjukan suatu kelompok
dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.karena tujuan, pilihan,
dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan didalam organisasi
berbeda, maka konflik adalah suatu yang tidak terelakan disetiap organisasi.
[1] Gareth R. Jones, Organizational
Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling
Kindersley, 2009) p.408
Ø M.
Aflazur Rahim mendefinisakan konflik organisasi sebagai proses interaktif yang
termanifestasi dalam hal hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau
kejanggalan baik intra individu maupun inter entitas social seperti individu
kelompok, ataupun organisasi.
[3] M. Afzalur
Rahim, Managing Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey:
Transaction Publishers, 2011) p.16.
Ø Kurt
T Dirks dan Judi Mclean Parks mendefinisikan konflik organisasi sebagai
interaksi antar entitas yang saling bergantung yang menggap adanya pertentangan
sasaran, niat, atau nilai, sehingga menggap entitas lainnya penggangu potensial
atas upaya mereka merealisasikan sasaran ini.
[4] Kurt T. Dirks and
Judi McLean Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of
Conflict” dalam Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The
State of the Science, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis
e-Library, 2008) p.278.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Gereja Masehi Injili Di Halmahera (GMIH)
Gerja
Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah sebuah organissasi Gereja protestan di
Indonesia yang berada diwilayah pemerintahan provinsi Maluku Utara yang terdiri
dari 353 buah pulau. Dari pulau-pulau itu, yang terbesar adalah pulau Halmahera
dimana Gereja tersebut berpusat. Gereja ini tumbuh dari pekerjaan misionaris
dari Gereja reformas Belanda menjadi Gereja otonom pada tahun 1949. Gereja ini
diatur sesuai dengan model presbiterial sinodal. Gereja ini juga terkait dengan
Theology Seminary yang berada di Ujung Pandang (Sulawesi selatan).
2.
Sejarah GMIH
Pada tahun 1940
diadakanlah konferensi di Kupa Kupa Tobelo, yang suda ada tanda-tanda bahwa
Zending hendak menyerahkan usaha penginjilan untuk diteruskan pribumi karena
Jepang hampar pasti mengusai Asean. Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942.
Pada konferensi ini diputuskan mengumpulkan dana setempat guna menutupi deficit
anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan komunikasi dengan negeri
Belanda. Hasil konferensi antara lain: membentuk founs injil dan hasil dana
dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil, serta cita-cita
pengelolahan Gereja Halmahera oleh pribumi. Kemudian Jepang mulai menghilangkan
segala sesuatu yang berbau kebelandaan di Indonesia. Imbasnya banyak sending
bahkan guru-guru pun ditawan oleh Jepang. Hal inilah yang membuat reaksi datang
dari pribumi sebagai upaya terus menghidupi Gereja yang sudah berkembang di
Halmahera.Beberapa pribumi menemui metsjibu Jepang di Ternate yang di
fasilitasi oleh sulthan Ternate Iskandar Mohammed Djabir Sjah, guna
membicarakan kepentingan Gereja Halmahera. Jepang kemudian menyuruh membentuk
sebuah badan persiapan kemandirian gereja yang keanggotaannya berdasarkan
persetujuan Jepang. Tak lam kemudian, berdirilah Gereja Protestan Halmahera
(GPH) walaupun unsurnya lebih banyak
melibatkan daerah Halmahera Barat. Sementara di Tobelo dan Galela pada Mei 1942
telah mengadakan pertemuan di Pitu guna mengantisipasi perginya zending. Inti
hasil pertemuannya adalah keinginan untuk mandiri, dam keinginan tersebut
disampaikan oleh delegasi Tobelo dan Galela ke sulthan Ternate dan metsjibu.
Mereka meminta agar Pdt Kriekhoff yang adalah Pdt gereja protestan Maluku di
Ternate unutk melayani sakramen di Halmahera khususnya di Tobelo dan Galela.
Dan permintaan tersebut disetujui. Halmahera Barat, tobelo, Galela mempunyai
kenginan menyatukan diri didalam Gereja kendati mengalami banyak tantangan.
Pada perang dunia II ketika sekutu berhasil mengalahkan Jepang, dan menjadikan
Morotai sebagai basis kekuatan di Asia. Walau demikian, runtuhnya Jepang juga
menjadikan Gereja di Halmahera kembali dilayani oleh para zending. Akhirnya,
dengan fasilitas dan pengalaman zending, diadakanlah pertemuan demi terciptanya
Gereja Halmahera yang mandiri dengan berdirinya Gereja Masehi Injili Di
Halmahera pada 6 Juni 1949.
3.
Terjadinya
Konflik Dualisme Di Organisasi GMIH
Sidang
sinode GMIH ke XXVII di Darume, Loloda Utara
yang dihadiri oleh 1.000 orang dari 426 jemaat yang bernaung dibawah sinode
GMIH telah dilaksanakan dan telah menyepakati berbagai macam keputusan. Namun
diantara keputusan-keputusan tersebut, menimbulkan ketidakpuasan pada beberapa
pihak. Hal ini mengakibatkan munculnya tim reformasi (tim pembaharuan) di
Halmahera Utara yang menuntut diadakannya kembali sidang sinode istimewa (SSI).
Hal ini juga berakibat munculnya pembentukan Gereja Protestan Halmahera di
Halmahera Barat pada bulan Agustus 2012, yang diketuai Drs. Vence Muluwere.MM
yang juga menjabat sebagai kepala dinas catatan sipil kabupaten Halmahera
barat. Salah satu alasan dari pembentukan kelompok atau tim ini adalah mereka
ingin melakukan pembaharuan dikubu pengurus GMIH yang di ketuai oleh Pdt. Anton
Piga yang menurut mereka telah melakukan penyimpangan mendasar tentang asas
menggereja GMIH. Mereka menuding ketua sinode dan sekretarisnya Pdt. Demianus
Ice M.Th dengan sengaja telah melantik ketua jemaat sebagai majelis sinode.
Padahal dalam asas presbiterial sinodal sebagai asas GMIH majelis sinode adalah
perwakilan dari jemaat. Dalam pengertian demikian, bererti Jemaatlah yang
seharusnya menentukan siapa yang diutus menjadi anggota dari majelis sinode.
Pengurus dari GMIH pembaharuan dan GPH merupakan orang orang yang dulunya
menjabat di GMIH pimpinan Pdt. Anton Piga. Sidang sinode istimewa (SSI) yang
digagas oleh secretariat GMIH pembaharuan akhirnya melakukakan persidangan
sinode istimewa dengan dukungan dari 230 jemaat GMIH. Dari SSI itu, kemudian
terpilihlah dengan system undian pengurus sinode yang baru yaitu: sebagai ketua
adalah Pdt. L Sambaimana M.Th. Konflik dualisme yang terjadi di tubuh GMIH
sangat berpengaruh sampai pada tingkat badan pengurus harian jemaat(BPHJ) di
jemaat-jemaat dibeberapa desa. Dibeberapa jemaat di desa-desa tertentu bahkan
sampai terjadi konflik kekerasan yang terjadi didalam jemaat (antar
indivu-indivu) karena tidak sependapat mengenai konflik dualisme tersebut,
seperti halnya yang terjadi di jemaat GMIH desa Idam, disitu terjadi pemukulan
terhadap oknum-oknum yang bergabung dengan GPH.
Konflik antara GMIH dan GPH tersebut,
membuat pemerintah Maluku Utara menyikapinya dengan bertemu langsung bupati
Halmahera Barat Ir. Namto Hui Roba. Pertemuan tersebut bertujuan untuk
mengklarifikasi masalah yang terjadi di tubuh GMIH, dan sekaligus mencari
solusi agar konflik tersebut tidak mempengaruhi kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, konflik yang terjadi antara GMIH dan GPH
merupakan konflik organisasi yang teorinya sama dengan yang dikemukakan oleh
ahli M.
Aflazur Rahim yang mendefinisakan konflik organisasi sebagai proses interaktif
yang termanifestasi dalam hal hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau
kejanggalan baik intra individu maupun inter entitas social seperti individu
kelompok, ataupun organisasi. Jadi, menurut saya, hal ini berarti konflik yang
terjadi di GMIH diakibatkan oleh ketidakcocokan dan ketidaksetujuan antara
individu-individu didalam organisasi tersebut terhadap keputusan-keputusan yang
diambil atau diputuskan dalam sidang sinode yang dikerenakan menurut
pihak-pihak tertentu telah terjadi kejanggalan dalam organisasi tersebut. Namun
kendati konflik dianggap sebagai sesuatu yang negative, tetapi bukan berarti
dampak dari konflik semuanya berakhir negative. Karena dalam teorinya yang
lebih lanjut, Garet R. Jones mengatakan bahwa bebrapa jenis konflik justru
mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan efektivitas organisasi. Artinya
bahwa konflik mempunyai kontribusi positif karena ia mengungkap kelemahan suatu
organisasi sehingga membuka jalan dalam upaya mengatasinya. Dengan demikian,
konflik membibing pada proses pembelajaran dan perubahan organisasi.
KESIMPULAN
1.
Konflik dualisme yang terjadi di organisasi GMIH disebabkan
karena adanya ketidakpuasan, ketidaksetujuaan, dan tidak sepemahan antara iternal
organisasi yang muncul di saat sidang sinode ke XXVII di laksanakan di Darume
Loloda Utara. Hal tersebut memicu terjadinya perpecahan di tubuh organisasi
GMIH yang ditandai dengan lahirnya GMIH pembaharuan di Halmahera Utara dan GPH
di Halmahera Barat.
SARAN
1.
Kedua bela pihak sebaiknya menanggalkan keegoisan masing-masing,
agar supaya bias duduk bersama-sama dan membicarakan masalah ini dengan
baik-baik, supaya bias menemukan jalan keluar yang terbaik bagi masalah
tersebut.
2.
Bagi pihak yang ternyata terbukti bersalah,harus dihukum
berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, agar supaya hukum dinegara
kita ini dapat ditegakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar