Jumat, 16 Oktober 2015

Tugas Civic Education Smester 1...


LATAR BELAKANG
Perbedaan pendapat seringkali kita temukan didalam kehidupan sehari hari, baik itu yang terjadi antara seseorang dengan orang lain, maupun yang terjadi didalam sebuah organisasi yakni antara individu – individu yang terdapat didalamnya.. Perbedaan pendapat seringkali memicu terjadinya konflik. Kata konflik, sebenarnya  berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Dalam kaitannya dengan judul karya ilmiah yang saya angkat yaitu “Konflik Dualisme Dalam Oraganisasi GMIH”, saya akan mencoba membahas mengenai masalah yang terjadi dalam tubuh organisasi tersebut. GMIH merupakan organisasi keagamaan yang beranggotakan Gereja-Gereja yang berada di wilayah Halmahera, dan berpusat di Tobelo.
Sekitar dua tahun yang lalu GMIH mengalami perpecahan didalam kubu interennya. Perpecahan tersebut dikarenakan adanya dualisme didalam kubu GMIH, dan hal ini sangat berpengaruh bagi Gereja – Gereja yang ada di Halmahera. Akibatnya, banyak gereja gereja khususnya di Halmahera Barat juga ikut mengalami pepecahan ditingkat jemaatnya. Hal ini tentu saja sangat disayangkan, GMIH yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk Gereja - Gereja yang ada dibawah naungannya, malah dijadikan sebagai ajang bagi oknum – oknum tertentu untuk memperebutkan kekuasaan.




LANDASAN TEORI

Ø  Menurut Gareth R Jones mendefinisikan konflik organisasi sebagai perbenturan yang muncul kala perilaku mencapai tujuan tertentu yang ditunjukan suatu kelompok dirintangi atau digagalkan oleh tujuan kelompok lain.karena tujuan, pilihan, dan kepentingan kelompok-kelompok pemangku kepentingan didalam organisasi berbeda, maka konflik adalah suatu yang tidak terelakan disetiap organisasi.
[1] Gareth R. Jones, Organizational Theory, Design, and Change, 5th Edition (New Delhi: Dorling Kindersley, 2009) p.408
Ø  M. Aflazur Rahim mendefinisakan konflik organisasi sebagai proses interaktif yang termanifestasi dalam hal hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik intra individu maupun inter entitas social seperti individu kelompok, ataupun organisasi.
[3] M. Afzalur Rahim, Managing Conflict in Organizations, 4th Edition (New Jersey: Transaction Publishers, 2011) p.16.

Ø  Kurt T Dirks dan Judi Mclean Parks mendefinisikan konflik organisasi sebagai interaksi antar entitas yang saling bergantung yang menggap adanya pertentangan sasaran, niat, atau nilai, sehingga menggap entitas lainnya penggangu potensial atas upaya mereka merealisasikan sasaran ini.
[4] Kurt T. Dirks and Judi McLean Parks, “Conflicting Stories: The State of the Science of Conflict” dalam Jerald Greenberg, ed., Organizational Behavior: The State of the Science, 2nd Edition (Mahwah, New Jersey: Taylor & Francis e-Library, 2008) p.278.
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Gereja Masehi Injili Di Halmahera (GMIH)
Gerja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) adalah sebuah organissasi Gereja protestan di Indonesia yang berada diwilayah pemerintahan provinsi Maluku Utara yang terdiri dari 353 buah pulau. Dari pulau-pulau itu, yang terbesar adalah pulau Halmahera dimana Gereja tersebut berpusat. Gereja ini tumbuh dari pekerjaan misionaris dari Gereja reformas Belanda menjadi Gereja otonom pada tahun 1949. Gereja ini diatur sesuai dengan model presbiterial sinodal. Gereja ini juga terkait dengan Theology Seminary yang berada di Ujung Pandang (Sulawesi selatan).

2.      Sejarah GMIH
Pada tahun 1940 diadakanlah konferensi di Kupa Kupa Tobelo, yang suda ada tanda-tanda bahwa Zending hendak menyerahkan usaha penginjilan untuk diteruskan pribumi karena Jepang hampar pasti mengusai Asean. Halmahera dikuasai Jepang pada Mei 1942. Pada konferensi ini diputuskan mengumpulkan dana setempat guna menutupi deficit anggaran Zending yang disebabkan oleh pemutusan komunikasi dengan negeri Belanda. Hasil konferensi antara lain: membentuk founs injil dan hasil dana dipergunakan untuk membiayai kebutuhan hidup para penginjil, serta cita-cita pengelolahan Gereja Halmahera oleh pribumi. Kemudian Jepang mulai menghilangkan segala sesuatu yang berbau kebelandaan di Indonesia. Imbasnya banyak sending bahkan guru-guru pun ditawan oleh Jepang. Hal inilah yang membuat reaksi datang dari pribumi sebagai upaya terus menghidupi Gereja yang sudah berkembang di Halmahera.Beberapa pribumi menemui metsjibu Jepang di Ternate yang di fasilitasi oleh sulthan Ternate Iskandar Mohammed Djabir Sjah, guna membicarakan kepentingan Gereja Halmahera. Jepang kemudian menyuruh membentuk sebuah badan persiapan kemandirian gereja yang keanggotaannya berdasarkan persetujuan Jepang. Tak lam kemudian, berdirilah Gereja Protestan Halmahera (GPH)  walaupun unsurnya lebih banyak melibatkan daerah Halmahera Barat. Sementara di Tobelo dan Galela pada Mei 1942 telah mengadakan pertemuan di Pitu guna mengantisipasi perginya zending. Inti hasil pertemuannya adalah keinginan untuk mandiri, dam keinginan tersebut disampaikan oleh delegasi Tobelo dan Galela ke sulthan Ternate dan metsjibu. Mereka meminta agar Pdt Kriekhoff yang adalah Pdt gereja protestan Maluku di Ternate unutk melayani sakramen di Halmahera khususnya di Tobelo dan Galela. Dan permintaan tersebut disetujui. Halmahera Barat, tobelo, Galela mempunyai kenginan menyatukan diri didalam Gereja kendati mengalami banyak tantangan. Pada perang dunia II ketika sekutu berhasil mengalahkan Jepang, dan menjadikan Morotai sebagai basis kekuatan di Asia. Walau demikian, runtuhnya Jepang juga menjadikan Gereja di Halmahera kembali dilayani oleh para zending. Akhirnya, dengan fasilitas dan pengalaman zending, diadakanlah pertemuan demi terciptanya Gereja Halmahera yang mandiri dengan berdirinya Gereja Masehi Injili Di Halmahera pada 6 Juni 1949.


3.      Terjadinya Konflik Dualisme Di Organisasi GMIH
Sidang sinode GMIH ke  XXVII di Darume, Loloda Utara yang dihadiri oleh 1.000 orang dari 426 jemaat yang bernaung dibawah sinode GMIH telah dilaksanakan dan telah menyepakati berbagai macam keputusan. Namun diantara keputusan-keputusan tersebut, menimbulkan ketidakpuasan pada beberapa pihak. Hal ini mengakibatkan munculnya tim reformasi (tim pembaharuan) di Halmahera Utara yang menuntut diadakannya kembali sidang sinode istimewa (SSI). Hal ini juga berakibat munculnya pembentukan Gereja Protestan Halmahera di Halmahera Barat pada bulan Agustus 2012, yang diketuai Drs. Vence Muluwere.MM yang juga menjabat sebagai kepala dinas catatan sipil kabupaten Halmahera barat. Salah satu alasan dari pembentukan kelompok atau tim ini adalah mereka ingin melakukan pembaharuan dikubu pengurus GMIH yang di ketuai oleh Pdt. Anton Piga yang menurut mereka telah melakukan penyimpangan mendasar tentang asas menggereja GMIH. Mereka menuding ketua sinode dan sekretarisnya Pdt. Demianus Ice M.Th dengan sengaja telah melantik ketua jemaat sebagai majelis sinode. Padahal dalam asas presbiterial sinodal sebagai asas GMIH majelis sinode adalah perwakilan dari jemaat. Dalam pengertian demikian, bererti Jemaatlah yang seharusnya menentukan siapa yang diutus menjadi anggota dari majelis sinode. Pengurus dari GMIH pembaharuan dan GPH merupakan orang orang yang dulunya menjabat di GMIH pimpinan Pdt. Anton Piga. Sidang sinode istimewa (SSI) yang digagas oleh secretariat GMIH pembaharuan akhirnya melakukakan persidangan sinode istimewa dengan dukungan dari 230 jemaat GMIH. Dari SSI itu, kemudian terpilihlah dengan system undian pengurus sinode yang baru yaitu: sebagai ketua adalah Pdt. L Sambaimana M.Th. Konflik dualisme yang terjadi di tubuh GMIH sangat berpengaruh sampai pada tingkat badan pengurus harian jemaat(BPHJ) di jemaat-jemaat dibeberapa desa. Dibeberapa jemaat di desa-desa tertentu bahkan sampai terjadi konflik kekerasan yang terjadi didalam jemaat (antar indivu-indivu) karena tidak sependapat mengenai konflik dualisme tersebut, seperti halnya yang terjadi di jemaat GMIH desa Idam, disitu terjadi pemukulan terhadap oknum-oknum yang bergabung dengan GPH.
      Konflik antara GMIH dan GPH tersebut, membuat pemerintah Maluku Utara menyikapinya dengan bertemu langsung bupati Halmahera Barat Ir. Namto Hui Roba. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi di tubuh GMIH, dan sekaligus mencari solusi agar konflik tersebut tidak mempengaruhi kerukunan umat beragama.
Dengan demikian, konflik yang terjadi antara GMIH dan GPH merupakan konflik organisasi yang teorinya sama dengan yang dikemukakan oleh ahli M. Aflazur Rahim yang mendefinisakan konflik organisasi sebagai proses interaktif yang termanifestasi dalam hal hal seperti ketidakcocokan, ketidaksetujuan, atau kejanggalan baik intra individu maupun inter entitas social seperti individu kelompok, ataupun organisasi. Jadi, menurut saya, hal ini berarti konflik yang terjadi di GMIH diakibatkan oleh ketidakcocokan dan ketidaksetujuan antara individu-individu didalam organisasi tersebut terhadap keputusan-keputusan yang diambil atau diputuskan dalam sidang sinode yang dikerenakan menurut pihak-pihak tertentu telah terjadi kejanggalan dalam organisasi tersebut. Namun kendati konflik dianggap sebagai sesuatu yang negative, tetapi bukan berarti dampak dari konflik semuanya berakhir negative. Karena dalam teorinya yang lebih lanjut, Garet R. Jones mengatakan bahwa bebrapa jenis konflik justru mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan efektivitas organisasi. Artinya bahwa konflik mempunyai kontribusi positif karena ia mengungkap kelemahan suatu organisasi sehingga membuka jalan dalam upaya mengatasinya. Dengan demikian, konflik membibing pada proses pembelajaran dan perubahan organisasi.














KESIMPULAN

1.      Konflik dualisme yang terjadi di organisasi GMIH disebabkan karena adanya ketidakpuasan, ketidaksetujuaan, dan tidak sepemahan antara iternal organisasi yang muncul di saat sidang sinode ke XXVII di laksanakan di Darume Loloda Utara. Hal tersebut memicu terjadinya perpecahan di tubuh organisasi GMIH yang ditandai dengan lahirnya GMIH pembaharuan di Halmahera Utara dan GPH di Halmahera Barat.

SARAN

1.      Kedua bela pihak sebaiknya menanggalkan keegoisan masing-masing, agar supaya bias duduk bersama-sama dan membicarakan masalah ini dengan baik-baik, supaya bias menemukan jalan keluar yang terbaik bagi masalah tersebut.
2.      Bagi pihak yang ternyata terbukti bersalah,harus dihukum berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, agar supaya hukum dinegara kita ini dapat ditegakan sesuai dengan aturan yang berlaku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar